Penjelasan Islam Nusantara

Pada hari Senin 17 Agustus 2015, alhamdulillah guru kita yang mulia Al-Habib Abdullah bin Muhammad Baharun akhirnya sampai di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Suci, Gresik. Walaupun pertemuan dengan beliau tidak terlalu lama, akan tetapi hal itu cukup menghibur: karena sudah lama tidak berjumpa dengan beliau.

Dan alhamdulillah dalam pertemuan yang sebentar itu kita dapat menimba ilmu dari beliau. Mulai dari birrul masyayikh (pada pertemuan pertama): karena beliau melihat murid-murid serta alumnus Universitas Al-Ahqoff berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau, walaupun rumah alumni rata-rata tergolong jauh dari Gresik, tempat beliau beristirahat.

Kemudian pertemuan untuk keduanya dilaksanakan keesokan harinya, Selasa 18 Agustus 2015, sekitar jam 9.30 WIB. Dan pada pertemuan itu, saya sempat menyodorkan pertanyaan kepada beliau. Kurang lebih yang saya tanyakan adalah demikian:

”Ya habib, apa pandangan jenengan tentang Islam Nusantara, apakah didalamnya terdapat perpecahan umat Islam atau sebaliknya?”

Beliau tentu saja sudah mendengar istilah ini, karena memang sebelumnya ada teman-teman yang bertanya kepada beliau dan tentunya beliau itu tidak telat Info: karena beliau memiliki perhatian khusus serta wawasan luas tentang Islam di Indonesia. Segala pemikiran-pemikiran di Indonesia, beliau mengetahuinya.

Sebenarnya beliau menjawab pertanyaan saya dengan panjang lebar. Tapi sayang, tidak semuanya saya ingat. Dan yang akan saya tulis, hanya yang tersisa di memori saya, dan mungkin pengutipannya dengan makna saja (tanpa merubah pendangan global beliau).

[ads script=”1″ align=”center”]

 

Jawaban beliau kurang lebih demikian –kutipan ini tidak secara harfiyah tapi semakna dengan yang beliau sampaikan:

“Pemikiran ini sudah saya dengar sebelumnya, dan pemikiran ini berbeda dengan berbedanya sudut pandang yang digunakan. Di antara mereka ada yang menafsirkannya dengan Islam yang dibawa oleh Walisongo, yaitu yang sesuai dengan adat-istiadat orang Jawa (maksudnya Indonesia secara umum: karena penggunaan lafad Jawa digunakan untuk jawa dan sekitarnya/Nusantara). Tidak ada kekerasan, dan sikap kaku. Justru mereka menggunakan metode dakwah dengan kelembutan dan toleransi. Sehingga dimungkinkan untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan adat sekitar. Sehingga, dalam masa yang tidak lama, penduduk Jawa (Indonesia) mudah untuk menerimanya dan pada akhirnya mayoritas penduduk Indonesia masuk Islam tanpa ada keterpaksaan sedikitpun. Madzhab fikih yang mereka anut adalah madzhab Syafi’i dan akidah Asyariyyah, serta thoriqoh Shufiyyah. Tak ada nilai-nilai kekerasan sedikitpun, justru sebaliknya. Seperti inilah yang dikembangkan dari generasi ke generasi. Diantara beberapa ulama Nusantara yang mengembangkan pemikiran seperti ini ialah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisyri Syamsuri , KH. Kholil Bangkalan dan lain sebagainya.

Jika Islam Nusantara ditafsirkan dengan penafsiran tersebut, maka oke, tidak ada yang dipermasalahkan. Kita setuju dengan pemikiran tersebut: karena seperti inilah yang kita temui di buku-buku sejarah ulama-ulama salafussholih. Dan perlu diketahui bahwa dakwah tokoh-tokoh Hadramaut adalah dakwah yang bersih. Tidak ada niatan untuk mengumpulkan harta, apalagi menginginkan kekuasaan dan menjajah, apalagi mempengaruhi mereka dengan menyebarkan adat-adat yang tidak beres, tidak memaksa yang lain untuk masuk Islam.

Coba kita lihat, dakwah (baca: ekspansi) Belanda. Mereka telah menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya. Apa yang mereka tinggalkan? Mereka tak meninggalkan apapun, tidak meninggalkan bahasa, pakaian, sekolah-sekolah, ataupun memberikan kemajuan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Justru sebaliknya, mereka mengambil segalanya dari Indonesia, dari kekayaan dan harta Indonesia. Ditambah lagi dengan merampas buku-buku serta manuskrip-manuskrip yang telah ditulis oleh tokoh-tokoh Indonesia. Mereka tidak mau menikah dan menikahkan dengan penduduk pribumi. Jika salah satu dari mereka ada yang nikah dengan penduduk pribumi, mereka tidak segan-segan mengusirnya dari kalangan mereka dan menolak mereka dengan keras. Tidak mungkin bagi mereka untuk menerima dan berbaur dengan kehidupan orang Indonesia, tapi mereka hanya menganggap mereka hanya sebagai binatang yang ditunggangi untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, tidak memandang mereka sebagai manusia. Dan bukti nyatanya ialah realita.

Jika kalangan tokoh Hadromaut, berbalik 180 derajat: karena mereka menikah dan menikahkan dengan pribumi. Saya sendiri (al-habib) menemui keluarganya (dari kabilah Jamalullail), berapa banyak dari mereka yang berkulit hitam: karena kakek-kakek mereka berdakwah dan menikah dengan penduduk Afrika. Dan aku temukan yang lainnya berkulit putih: karena mereka dakwah dan menikah dengan orang-orang Turki. Begitu pula sebagian yang lain wajahnya sama sekali tidak mirip dengan orang arab: karena mereka berdakwah dan menikah dengan orang Indonesia. Kenapa bisa demikian? Karena mereka bisa berbaur dengan orang Indonesia dan bisa memasuki adat-istiadat mereka, mereka tidak memaksakan diri mereka untuk memasukkan adat-istiadat Hadramaut ke dalam lingkup Nusantara. Justru sebaliknya, merekalah yang berbaur dengan adat istiadat Nusantara. Kenapa demikian? Karena dengan itulah lebih bisa diterima. Terkadang sebagian bahasa Indonesia terpengaruh dengan bahasa Arab. Mereka menyebarkan adab, dan sopan santun dan bagaimana menghormati orang lain. Dan inilah salah satu karakteristik dari dakwah-dakwah tokoh Hadramaut di Indonesia. Terlebih dengan Walisongo, yang notabene leluhur mereka adalah dari asli Hadramaut bukan dari India ataupun Cina.

Namun jika para politisi memolitisir penafsiran Islam Nusantara, maka itu adalah hal lain, dan memiliki keadaan yang lain. karena mereka berusaha merubah makna Islam Nusantara dari makna aslinya. Ambillah sebagian contoh seperti perkataan mereka: Islam Nusantara mengembangkan sikap toleransi beragama dengan agama-agama lain, yang dengan demikian boleh seorang muslim menikah dengan yang beragama Budha, atau seorang wanita muslimah boleh menikah dengan pengikut agama Budha (atas dasar Islam Nusantara), dan hal ini bisa dikiaskan dengan yang lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.