Lajnah Bahtsul Masail

Lembaga yang pada Rabu, 9 Muharram 1432 H. / 15 Desember 2010, menggelar peletakan batu pertama gedung baru ini, pada awal kelahirannya bernama Majelis Musyawarah Pondok Pesantren Lirboyo (MM P2L). Setelah namanya berganti menjadi Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM P2L), bertepatan dengan penutupan bahtsul masa-il yang bertempat di serambi masjid Lirboyo di akhir tahun 2001, KH. Ahmad Idris Marzuqi atas nama Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (BPK P2L) mengeluarkan maklumat tentang status LBM P2L menjadi badan otonom yang mempunyai otoritas khusus dalam menentukan dan mengatur segala kebijakannya.

Tujuan pembentukan lembaga ini adalah karena memandang;

  1. Pertama, bahtsul masail bisa dijadikan sebagai mediator dalam rangka mensosialisasikan gagasan-gagasan baru pemahaman ajaran Islam kepada masyarakat.
  2. Kedua, bahtsul masail dapat difungsikan sebagai ajang penempaan keterampilan, kreativitas dan kualitas intelektual santri di pesantren, pemupukan jiwa kritis dan inovatif terhadap berbagai disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya fikih.
  3. Ketiga, melalui bahtsul masail dapat dipersiapkan sejak dini kader-kader yang mumpuni dalam mengakomodir beragam perbedaan pemikiran yang berkembang di kalangan umat, untuk kemudian memberikan formulasi terbaik secara arif dan bijaksana.

 

Untuk merealisasikan tujuan besar tersebut, LBM P2L diantaranya membuat tiga program utama; Sorogan, Musyawarah dan Bahstul Masail.
Program sorogan dimaksudkan sebagai bentuk usaha untuk memberikan bimbingan dan pembinaan santri semenjak dini dalam penguasaan ilmu alat (Nahwu dan Shorof). Sorogan dilaksanakan tiga kali dalam seminggu dengan menggunakan standar kitab Sulam At-taufîq dan Fathul Qarib yang dibagi dalam tiga tingkatan: Tingkat Ula, Wustho, dan Ulya. Metodenya, pertama, siswa meMusyawarah Santri Lirboyombaca materi kitab sesuai dengan tingkatannya dan disimak oleh pembimbing, kemudian pembimbing mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar Nahwu dan Shorof sesuai dengan standar kitab Nahwu dan Shorof yang diajarkan di kelasnya. Khusus untuk tingkat Ulya, terkadang pembimbing juga memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan penjelasan materi yang dibaca. Masing-masing tingkatan diselesaikan dalam waktu empat bulan, itupun kalau siswa lulus dalam ujian evaluasi kenaikan tingkatan.

Dalam lingkungan Pondok Pesantren Lirboyo, penggunaan istilah musyawarah dibedakan dengan istilah bahtsul masail. Secara substansi sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara kedua istilah tersebut, akan tetapi secara teknis keduanya mempunyai cakupan kajian sendiri-sendiri. Program musyawarah merupakan forum kajian terhadap ragam persoalan hukum yang dilakukan oleh para santri dengan standar kitab yang telah ditentukan, sementara bahtsul masail adalah forum kajian yang tidak terikat dengan standar kitab.

Musyawarah di Pesantren Lirboyo terbagi dalam dua tingkatan. Pertama, Musyawarah Fathul Qarib dan kedua Musyawarah Al-Mahalli. Pada mulanya musyawarah dibagi ke dalam tiga tingkatan, yakni Musyawarah Fathul Qarib, Musyawarah Fathul Mu’in, Musyawarah Muhadzab dan Musyawarah Fathul Wahhab, kemudian karena pertimbangan-pertimbangan praktis dirubah menjadi Musyawarah Fathul Qarib dan Musyawarah Al-Mahlli.

Pemberian nama Fathul Qarib atau Al-Mahalli tersebut dimaksudkan hanya untuk menandai bahwa kitab-kitab tersebut merupakan rujukan utama dalam masing-masing musyawarah. Hal ini bukan berarti bahwa peserta musyawarah pada masing-masing tingkatan dalam mengkaji persoalan hukum harus berkutat pada kedua kitab tersebut. Musyawirin (peserta musyawarah/ diskusi) diperbolehkan merujuk pada referensi di luar kitab rujukan utama. Dengan kata lain, pada tingkatan musyawarah Fathul Qarib misalnya, ketika musyawirin mengkaji berbagai persoalan hukum, maka sudah barang tentu mereka harus merujuk pada kitab Fathul Qarib. Namun demikian, mereka tetap saja diberikan kebebasan untuk melihat kitab-kitab lain, dengan catatan bahwa referensi-referensi yang dijadikan rujukan masih berada dalam satu level. Musyawarah Fathul Qarib ini dilaksanakan setiap malam Kamis dan diikuti oleh peserta mulai kelas satu Tsanawiyah sampai kelas tiga Aliyah dimana setiap lokal diwajibkan mengangkat minimal lima siswa sebagai anggota tetap, dan Mutakhorrijîn (alumni) MHM.

Sistem dalam musyawarah ini adalah, musyawarah dipimpin oleh dua orang utusan dari kelas atau mutakhorrijin, sebagai rais yang akan membacakan materi pembahasan dan sebagai moderator. Musyawarah dibagi dalam empat tahap. Yakni, pembacaan materi serta menyimpulkan materi pembahasan (murod); pertanyaan berkisar pada murod; dan pertanyaan yang berkaitan dengan materi pembahasan. Ketika terdapat permasalahan yang tidak berhasil diselesaikan (mauquf), akan ditindaklanjuti dalam forum bahtsul masail.

Penekanan dalam musyawarah ini lebih pada metode pemahaman fiqhiyyah yang hanya berkisar pada komparasi ta’bir-ta’bir (teks-teks) dalam kitab rujukan yang sudah jadi. Artinya, pada musyawarah tingkat ini, wilayah diskusi hanya berkisar pada pemahaman redaksional keterangan dalam kitab kuning saja dan santri tidak diharuskan mampu mendiskusikan materi berdasarkan teori dan prinsip-prinsip fikih secara metodologis.

Pola kajian hukum musyawarah level ini, dalam melihat suatu kasus harus mencarikan teks-teks dalam kitab-kitab yang telah ditentukan, baik teks itu secara kongkrit menjelaskan status hukum persoalan yang disoroti atau hanya sebagai bahan perbandingan. Jika dalam suatu persoalan terdapat beberapa pendapat, maka mereka tidak melakukan pemilihan untuk memutuskan apakah pendapat ulama A atau pendapat ulama B yang lebih kuat dan unggul. Biasanya mereka hanya menyimpulkan bahwa dalam persoalan tersebut terdapat khilâf (kontroversi) di antara ulama.

Sedangkan musyawarah al-Mahalli dilaksanakan setiap malam Senin dan diperuntukkan bagi semua siswa tingkat Aliyah, Mutakhorrijin (alumni) MHM dan siswa tingkat Tsanawiyah yang berminat. Sistemnya hampir mirip dengan musyawarah Fathul Qarib. Hanya saja dalam musyawarah Al-Mahalli, tahap akhir diisi dengan menyelesaikan pembahasan draft yang sebelumnya telah ditentukan. Draft ini berupa pertanyaan-pertanyaan metodologis yang diangkat dari materi atau bab yang sedang dimusyawarahkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.