Di Manakah Perdamaian?

Oleh: Radhi Rodliyuddin

Sungguh amat celaka bila semua nurani manusia seolah telah tersingkir dan ditinggalkan oleh nilai-nilai kasih sayang. Hawa nafsu yang bermuara pada kekejaman dan kebiadaban di muka bumi ini kian menggejala. Kesepakatan untuk menjunjung tinggi kemanusiaan semakin luntur. Sementara itu, kemajuan teknologi yang merupakan prestasi prima karsa manusia ternyata mempunyai sifat ambivalen (bertentangan). Di satu sisi, membuahkan manfaat dan perdamaian, tapi di sisi lainnya menimbulkan banyak kerusakan, perpecahan, dan peperangan.

Sehingga tak dipungkiri nantinya akan menimbulkan semakin hilangnya fungsi moral keagamaan yang selanjutnya akan membias pada segi-segi kehidupan lainnya. Sebab, kenyataan yang tampak di tengah-tengah masyarakat era transisional sekarang ini, menunjukkan gejala yang sangat jauh dari harapan bersama. Masyarakat senantiasa dihadapkan oleh berbagai masalah yang terus timbul. Munculnya peperangan, kerusuhan, kenakalan remaja, pergaulan bebas, pengangguran, dan yang lebih memprihatikan lagi dampak akibat dari pengaruh budaya asing yang sangat negatif, yang dalam hal ini merupakan realita yang harus dipikirkan dan diatasi bersama.

Teknologi yang awaInya dipandang sebagai perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan, lama kelamaan dipandang sebagai roh jahat yang sarat dengan pertanda bencana dan penghancuran moral agama. Tidak ada jalan yang dapat ditempuh, selain mengembalikan agama sebagai satu-satunya jalan keluar guna memberikan kekuatan moral sebagai inspirator menuju tekad perdamaian dan penyejuk kehidupan. Di mana penyebab utamanya adalah moral, keimanan, dan ketakwaan yang dimiliki masyarakat kurang memadai dan menyentuh seluruh hati sanubari masyarakat. Sebagai pengakuannya, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha mengatakan: “Tiadanya perdamaian di kalangan umat beragama lantaran mereka tidak menganut ajaran-ajaran agama secara benar.”

Persoalannya adalah karena banyak sekali aliran-aliran yang dengan lantangnya mengibarkan bendera agama, akan tetapi -sayang- kelantangannya hanya sekedar atas nama atau bahkan hanya sebagai tempat melindungkan diri agar kebobrokan dan keculasan mereka tidak terlacak oleh masyarakat luar. Mengadakan seminar-seminar keagamaan atau apapun bentuknya semata-mata bukan untuk mengurai kekusutan dunia atau menyelesaikan problema masyarakat, melainkan untuk mencari kepuasan batin, sehingga aktivitas agama justru akan semakin memperbesar egoisme dan hedonisme terselubung. Malahan primordialisme akan bermunculan dibawah payung keagamaan yang tidak menutup kemungkinan friksi-friksi (perpecahan) bakal muncul kembali jika tidak dibenahi semenjak dini.

Semua pemeluk agama harus selalu mengingat bahwa Tuhan menurunkan agama bukan untuk memecah belah manusia dalam perkubangan darah yang mengerikan. Sebab, tak ada manusia yang menginginkan kekacauan dan kekerasan di muka bumi ini, melainkan kesejahteraan dan kebaikan adalah kehendak yang selalu diharapkan setiap insan. Dalam kaitan itu, agama Islam yang tampil dengan salam dan damai, senada dengan fitrah, ketika kesepakatan untuk menjunjung tinggi perdamaian bertambah pudar. Maka alangkah indahnya ajaran yang damai dan sejuk apabila diterapkan dan menjadi pedoman seluruh manusia pada zaman sekarang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.