Cangcut Tali Wondo

Udara pagi masih seperti biasa. Sedikit lebih dingin, karena selain musim penghujan, daerahku termasuk perbukitan. Jika kalian main ke daerahku, ku jamin, kalian betah berminggu-minggu. Mungkin sampai berbulan-bulan. Coba saja kalian bayangkan. Di saat keadaan kota sudah tidak ‘kondusif’, di desaku tetap aman. Belum lagi udaranya yang sesak dengan kepulan asap. Tidak perlu berpikir ribuan kali untuk menancapkan kepercayaan. Jangankan hanya menitipkan kunci rumah, jabang bayi yang masih imut saja, belum pernah tuh ada kejadian dibawa kabur saat dititipkan. Keadaan di kota berbalik sekian derajat dibandingkan daerahku. Keadaan kota sudah tidak ‘aman’, mungkin ini hanya persepsiku. Tapi, begitulah yang diberitakan salah satu koran harian kota, bungkus gorengan yang tiap sore ku baca dikebun.

Meskipun desa, fasilitas desaku tidak kalah saing. Sama seperti di kota. Ada air, udara, dan tanah, sebuah ketentuan dari-Nya demi kelangsungan hidup manusia. Belum lagi mentarinya. Yang kala pagi dengan indahnya menyembul dari balik kebun ketela orang tuaku. Dan taukah kalian, saat petang datang, dia seakan berkata dari balik kolam lele di belakang rumah, “Selamat tinggal Shalehah. Sampai berjumpa besok. Karena sebentar lagi giliran bulan menemani waktu istirahat bani adam dan menyahdukan mereka yang bermunajat pada Tuhan Sang Pencipta kita.”

Hemm… Tapi harus ku akui, mungkin keindahan itu sudah tak berarti bagi penduduk kota. Mungkin juga keindahan diartikan lain oleh mereka. Karena masih menurut koran yang ku baca, pemandangan kota adalah kaki semampai tak berbungkus, pusar tersenyum dibawah t-shirt yang dipaksakan menempel badan, atau juga kemilau rambut rebonding-an. Aku tidak bisa membayangkan semua itu. Karena terus terang, sampai sekarang, saat aku yang semestinya sudah duduk dibangku kelas sembilan, jangankan pusar, rambut yang menari ke sana-kemari saja belum pernah ku perlihatkan. Meskipun jujur, masyarakat sini, termasuk aku sendiri tidak tahu apakah berjilbab sebuah tradisi orang Arab atau tidak, seperti kabar dari koran. Rasanya tidak sreg saja kalau tidak menutup kepala.

“Leha, udah sore. Pulang yuk. Bacanya dilanjutin di rumah saja.”

“Iya Kak. Kakak duluan aja. Nanggung nih…”

“Ye… Dibilangin ngeyel. Ayo… Ntar ada memedi, baru tau rasa.”

Tanpa berpikir lagi, akupun langsung jalan di belakang kakak tercintaku. Entahlah, apa maksud memedi yang tiap hari Mas Arsal bicarakan kalau aku sedikit membandel. Kalau di kota, mungkin memedi hanya jadi bahan banyolan.

Seperti biasanya, sehabis tidur siang, tepatnya setelah bayangan matahari melewati objeknya, saat di mana salat ashar masuk, aku menyusul kakak dikebun. Aku salat ashar berjamaah dengan ibu, hanya berdua. Karena ayah jamaahnya dengan kakak, di kebun. Sedang ibu memasak setelah salat, aku kebagian memanen sayuran di kebun buat esok harinya. Kebetulan tadi aku di suruh metik bayam. Setelah tugas selesai, seperti biasa, aku membaca koran bekas bungkus gorengan yang dibeli ibu tadi pagi di pasar.

Pernah aku bertanya pada ibu kenapa kalau salat keluargaku selalu berjamaah. Ibu malah menjawab, “Jadi anak muda tuh jangan banyak tanya, tidak baik. Dari dulu, orang tua ibu juga selalu berjamaah. Ibu yakin, itu lebih baik daripada salat sendirian.” Waktu itu aku langsung berpikir, kok jawaban ibu tidak nyambung.

Dan ternyata benar apa yang dikatakan ibu. Hal itu terbukti sekitar setahun yang lalu. Ketika ada kegiatan safari daerah di desa sebelah. Aku masih ingat waktu itu. Sore itu langit sedikit mendung. Kira-kira sekitar jam lima. Waktu maghrib masih lumayan lama. Sedang asyik-asyiknya baca koran, aku dikejutkan pemuda yang datang dari ujung kebun ketela. Sempat aku merinding. Karena selain wajahnya asing, tampangnya bikin hati gregetan.

“Mas, dari mana?” Mas Arsal yang ternyata juga tahu kedatangannya lebih dulu menghentikan langkah si pemuda.

Sedikit terbata-bata si pemuda menjawab pertanyaan Mas Arsal. Ku hentikan bacaanku. Karena jujur saja, aku juga penasaran dengan si pemuda. Sembari pura-pura membaca, aku fokuskan telingaku mendengar percakapan mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.