Berfikir (dulu) Lagi

    Syahdan, Abu Nawas didatangi seorang pemuda yang menggerutu karena rumahnya sempit bukan main. Cuma tiga kali empat, isinya empat kepala. Dia, sang istri, dan dua anak tercinta. Abu Nawas hanya ringan saja menghadapi masalah pemuda ini. Abu Nawas berkata, “Tak perlu dibesar-besarkan, kalau kamu mau ikut saranku, rumahmu akan jadi luas.” Tapi si pemuda tak lantas percaya, takut-takut yang dibicarakan Abu Nawas adalah masalah biaya. “Bukan, aku bahkan tak minta memugar rumahmu. Tidak satu jengkalpun,” Abu Nawas menambahkan.

    Mungkin si pemuda berpikir, “Bagaimana caranya punya rumah yang nyaman dengan gratisan?” 
    “Pinjam ayam ke tetanggamu. Taruh di rumah kamu. Bilang saja kalau kamu mau ikut kasih makan dia. Kamu mau tinggal sama dia sementara.” Si pemuda tercenung tak percaya. Apa-apaan ini? Pikirnya. “Jadi pingin punya rumah nyaman ndak?” Kalimat Abu Nawas terakhir ini meyakinkan pemuda tadi. “Kalau sudah, tiga hari lagi kamu ke sini. Kasih tahu perkembangannya seperti apa.”

    Malam berlalu, siang bergulir, tiga hari yang dijanjikan buat si pemuda telah tiba. Bukannya rumah nyaman yang didapatkan, rumah si pemuda makin keruh, suram, mendung, dan buram. Pemuda ini protes. Lagi-lagi Abu Nawas hanya menanggapi dengan ringan dan makin berwibawa. “Hmm, itu bagian dari proses mas. Biasa aja lah. Sekarang kamu pinjam lagi seekor angsa. Tempatin berpasangan sama ayam tetangga kamu itu. Jangan lupa kasih dia nama. Si Desi.” Pemuda tadi seperti disambar petir di siang bolong. Sebenarnya Abu Nawas ini konsultan atau akuntan sih? Pikir pemuda tadi. Masak sih aku disuruh ‘ngingu’ angsa, dikasih nama pula?

    Melihat mimik pemuda mulai ragu, Abu Nawas meyakinkan, “Masih pingin punya home sweet home apa ndak?” Bagai jurus maut, pemuda itu akhirnya mengangguk, -okelah kalau begitu-. “Jangan lupa, lima hari lagi kamu ke sini.”

    Lima hari bagaikan lima tahun, pemuda tadi mulai merasa menyesal sudah konsultasi ke Abu Nawas. Alih-alih masalahnya tandas, cobaan hidupnya justru terasa makin pedas. Sambil membawa kayu balok, dia kembali ke Abu Nawas. Dan seperti sebelumnya, Abu Nawas justru semakin cool, “Sabar… Sabar.. Satu langkah lagi, rumahmu bakal mirip istananya Erdogan yang di Turki itu.”

    Bisa saja Abu Nawas ini meredakan emosi, sehingga si pemuda dingin kepalanya. Tapi, ketika dia tahu apakah langkah terakhir yang harus ia kerjakan, si pemuda hampir pingsan dibuatnya. “Kamu pinjam kambing tetangga, terus rawat deh tuh, seminggu paling lama.”

    Kalau orang di depannya bukan Abu Nawas, tentu balok kayu tadi sudah melayang. Aku ke sini mau mengurangi masalah, bukan nambah masalah. Pikir pemuda tadi. Aku tak lungo wae. “Ingat lho mas, Istana Erdogan itu kaya apa, ada kolam renang pribadinya. Kalau lebih beruntung, mungkin rumahmu bisa hampir mirip pelataran kuil Nabi Sulaiman yang terkenal itu.” Cuma pelataran? Pemuda tadi bereaksi. “Ya udah, mirip Altarnya deh…,” sambil merengut, pemuda tadi harus bilang ia, mau tak mau. Ia pulang ke rumah. Sekali lagi, penonton kecewa.

    Daun berguguran, ranting berjatuhan, seminggu bagaikan sewindu. Hari berganti namun waktu seolah terhenti. Lama sekali pemuda menanti, hari pembalasan akhirnya datang juga. Mana janjimu! Katanya rumahku bisa jadi mirip Istana, minimal Haghia Sophia lah, tapi mirip WCnya pun tidak. Pemuda tadi mencak-mencak. “Gini mas, yang namanya manusia bisa salah. Sekarang coba deh, mas kembaliin ayam yang mas pinjam. Bilangin terima kasih dari Abu Nawas ke empunya. Biar mas lebih tenang.” Awas kalau ini kagak berhasil! Umpat pemuda tadi. Aku bakal pakai jalur kekerasan. Aku gak perduli tuh sama Komnas HAM. “Jangan lupa balik lagi ya mas, dalam tiga hari. Senin depan.”

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.